7 Cara Komunikasi Untuk Menjaga Hubungan Dengan Mertua

Sebagai menantu perempuan, terkadang ada peristiwa yang membuat Ibu mengalami kesulitan menghadapi sikap ibu mertua sehingga berdampak negatif pada hubungan dengan anggota keluarga. Lebih buruk lagi, situasi tersebut dapat menyebabkan Ibu kehilangan rasa hormat dan tidak nyaman melakukan sesuatu dengan mertua. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa hubungan dengan mertua itu penuh gejolak dan dinamisme. Penyebab kompleksnya hubungan tersebut karena latar belakang yang berbeda. 

Hubungan dengan Mertua
Hubungan dengan Mertua

Mengapa sulit untuk menjalin hubungan dengan mertua yang harmonis?

Kehidupan pernikahan perlu menyesuaikan diri juga dengan keluarga pasangan, terutama dengan orang tuanya. Dalam masa penyesuaian itu, mungkin akan terjadi hal-hal yang membuat hubungan dengan mertua menjadi tidak harmonis. Alasan yang menyebabkannya sangat beragam, tapi seringkali alasan berikut ini menjadi pemicunya. 

1. Mertua terlalu cepat mengkritik atau menilai perilaku Ibu

Pasangan Ibu menghabiskan sebagian besar hidupnya dengan orang tuanya. Ada mertua yang meski sudah menikah merasa “belum siap” untuk menikahkan anak-anaknya. Di mata orang tua, anak tetaplah anak biarpun sudah menikah sehingga mereka menginginkan yang terbaik untuk anaknya.

Keinginan ini memang sudah menjadi naluri orang tua, tapi juga bisa dijadikan ‘alasan’ yang membuat mertua cepat mengkritik atau menilai perilaku Ibu dengan berbagai cara, seperti ketika memasak, mencuci, pekerjaan rumah tangga, dan pola asuh anak. Akibatnya, mertua jadi ikut campur dalam pekerjaan rumah tangga, membandingkan, menyalahkan, bahkan menyindir.

2. Mertua menolak untuk menghormati batasan yang Ibu tetapkan

Menetapkan batasan dengan mertua terkadang sulit, tetapi ketika batasan sudah dibuat dan tidak dihormati, Ibu akan kehilangan rasa hormat. Hubungan seperti itu dapat mengganggu komunikasi dan dapat terlihat dalam segala hal yang Ibu lakukan saat bersama mertua.

Dalam penelitiannya, Greif (2019) melihat tantangan menantu perempuan dan mertua adalah menemukan identitas mereka sendiri di unit keluarga yang baru terbentuk dan posisi mereka dalam keluarga besar. Karena perannya setara, Ibu dianjurkan untuk menetapkan batasan yang jelas agar memastikan bahwa hubungan dengan mertua berkembang ke arah yang positif dan menghindari turut campur mertua yang berlebihan dan tidak semestinya.

3. Mertua sulit menerima perubahan atau perbedaan

Di zaman yang sudah modern ini, Ibu mungkin masih percaya mitos-mitos tentang kehamilan, hubungan suami-istri, dan mengasuh anak yang sering Ibu dengar dari orang tua atau mertua. Beberapa contohnya, yaitu:

Ketika akses informasi terbatas dan sulitnya menjangkau pelayanan kesehatan, pemikiran di atas bisa dianggap sebagai suatu kebenaran karena adanya pemahaman tertentu yang dipercaya turun-temurun. Namun, bagi Ibu yang hidup saat keadaan sudah berubah dan juga mudah mengakses informasi dan pengetahuan, pemahaman ini terasa kuno, tidak ilmiah, dan sulit diterima akal.

Tidak mudah bagi orang tua/mertua untuk menerima atau mempelajari sesuatu yang baru di umur yang tidak lagi muda—apalagi berhubungan dengan pengalamannya—tapi bukan berarti tidak dapat dilakukan. Bila mertua Ibu bersikeras menganggap pemikirannya adalah hal yang mutlak, ini bisa menandakan mertua sulit menerima perubahan. Sebenarnya perbedaan adalah hal yang baik, tetapi ketika mertua dan Ibu gagal untuk menerima dan memahami perbedaan sudut pandang satu sama lain, hal itu menciptakan konflik yang tidak sehat dalam hubungan dengan mertua.

Hubungan dengan mertua dapat memengaruhi persepsi anak tentang hubungan keluarga

Sebagai orang pertama dan terdekat bagi seorang anak, orang tua merupakan kontributor utama bagi perkembangan kesehatan anaknya. Tindakan, perkataan, nilai, dan ajaran orang tua bisa menjadi fondasi bagi mereka menjalani berbagai aspek kehidupan. 

Pola asuh anak seringkali menjadi penyebab renggangnya hubungan dengan mertua karena perbedaan cara dan pengalaman mertua dengan pengetahuan dan harapan Ibu dalam mengasuh anak. Ibu dapat menggunakan perbedaan ini untuk berdiskusi dengan mertua tentang cara terbaik untuk membesarkan anak. Keterlibatan mertua menyampaikan pandangan dalam mengasuh anak dapat membangun rasa cinta terhadap cucu dan memperlakukan mereka seperti anak sendiri. 

Hubungan Dengan Mertua Berhubungan dengan Perkembangan Anak
Hubungan Dengan Mertua Berhubungan dengan Perkembangan Anak

Lingkungan rumah yang positif memberi anak-anak kesempatan untuk mengembangkan keterampilan emosional dan memampukan mereka untuk mengatasi kegelisahan, ketakutan, dan tantangan. Selain itu, dapat mengajarkan anak-anak kemampuan sosial seperti pengendalian diri, kerjasama dan penerimaan sudut pandang yang berbeda, serta mampu membentuk dan memelihara hubungan positif dengan teman sebaya dan orang yang lebih tua. 

Mengembangkan hubungan yang harmonis dengan mertua memberikan rasa aman dan nyaman pada anak yang sedang belajar bersosialisasi. Studi oleh Fingerman (2004) menunjukkan bahwa kedekatan antara menantu perempuan dan mertua perempuan memengaruhi kedalaman ikatan dan kebahagiaan yang mereka miliki dengan cucu mereka. Hubungan dengan mertua yang positif ini dapat menginspirasi anak-anak, mengembangkan rasa kekeluargaan, dan menghormati orang yang lebih tua. 

Pelan tapi pasti, Ibu bisa mengembangkan hal ini dalam hubungan dengan mertua

1. Komunikasi

Hubungan dengan mertua tidak selalu harus negatif. Dibutuhkan upaya untuk mengubah persepsi yang terbentuk selama ini. Jika tidak diatasi, keadaan bisa menjadi lebih buruk. Asumsi negatif ini dapat muncul ketika harapan Ibu dan mertua berbeda tapi tidak dikomunikasikan, akhirnya terjebak dalam perasaan dan asumsi masing-masing.

Komunikasi dengan Mertua
Komunikasi dengan Mertua

Komunikasi merupakan aspek penting dalam hubungan dengan mertua karena menjadi salah satu faktor yang menentukan keadaan hubungan saat ini dan masa depan. Studi oleh Rittenour (2012) menemukan bahwa komunikasi yang mendukung antara menantu perempuan dan mertua perempuan menghasilkan rasa kepuasan dan mampu berbagi identitas serta memposisikan diri dalam keluarga. Untuk mencapai hal ini, komunikasi sangatlah penting. Komunikasi yang buruk dapat menyebabkan ketidakpuasan dalam kehidupan pernikahan Ibu. 

Selain itu, dibutuhkan juga peran suami sebagai penengah jika komunikasi Ibu dan mertua tidak berlangsung dengan baik. Pada beberapa kondisi dan situasi, hanya suami yang dapat menengahi konflik antara Ibu dan mertua perempuan. Kemampuan suami untuk mendukung istri dan memecahkan masalah juga memiliki dampak yang signifikan terhadap kebahagiaan pernikahan yang dirasakan Ibu (Wu et al., 2010). Oleh karena itu, jika komunikasi dengan mertua menjadi sulit, sebaiknya Ibu juga berbicara dengan suami untuk mencari solusi agar konflik ini tidak berlangsung lama. 

Dalam banyak hal, komunikasi memungkinkan Ibu untuk mengekspresikan perasaan dengan lebih jelas sehingga menjaga kesehatan mental dan membina hubungan yang baik dengan pasangan. Memiliki hubungan yang rusak/tidak berkualitas akan cenderung mengarah pada depresi. Dengan menjalin komunikasi dua arah yang baik, Ibu bisa belajar memahami perasaan mertua sehingga dapat lebih dekat secara ikatan perasaan. Kualitas hubungan ditentukan oleh kualitas komunikasi. 

Pastinya setiap Ibu ingin memiliki hubungan dengan ibu mertua yang ideal, dimana bisa berbagi keakraban yang merupakan bentuk kasih sayang. Ibu yang memiliki hubungan dengan mertua yang harmonis mengakui bahwa mereka saling mengasihi dan dapat menunjukkan perasaannya. Bahkan, yang memiliki hubungan buruk juga mengungkapkan harapan mereka dapat saling mengasihi dengan mertuanya. 

Kegiatan Bersama Mertua
Kegiatan Bersama Mertua

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi dengan mertua adalah: 

  1. Cari tahu sifat dan karakter mertua 
  2. Jangan ragu untuk berbagi pendapat dan pandangan dengan mertua. Hormati perbedaan cara pandang dan jika Ibu mencari solusi, sebaiknya mencari jalan tengah untuk mencapai kesepakatan 
  3. Tunjukkan minat yang tulus dalam percakapan. Berikan perhatian pada mertua seperti Ibu memperlakukan orang tua kandung
  4. Ajak mertua mengobrol dalam keadaan santai sambil melakukan aktivitas yang Ibu dan mertua suka, seperti memasak, berkebun/menanam, jalan santai , piknik, dll. 
  5. Usahakan mencari topik yang ringan. Bila diperlukan, hadapi percakapan yang sensitif dengan tenang 
  6. Tetapkan batasan yang jelas 
  7. Menjaga sopan santun dengan mertua dan intonasi saat berbicara
2. Batasan

Batasan sangat penting dalam setiap hubungan. Dengan ini, Ibu dapat menghindari stres berlebihan karena mendorong diri melakukan sesuatu melampaui kemampuan Ibu. Di sisi lain, ini juga membantu Ibu mengatur waktu lebih efektif. Bagi sebagian Ibu yang mertuanya sudah terlalu lama ikut andil dalam urusan rumah tangga, menetapkan batasan membutuhkan keberanian dan keteguhan hati. 

Adanya batasan bukan berarti melarang atau menjauhkan mertua dari kehidupan, tetapi memberikan jarak dan ruang pada mertua yang bisa ditoleransi oleh Ibu. Dari sinilah diperlukan perhatian akan keinginan dan kebutuhan satu sama lain. Tidak dihormatinya batasan yang dibuat terasa seperti ada “invasi” dalam diri Ibu dan itulah yang membuat timbul perasaan tidak nyaman. 

Beberapa contoh di bawah ini yang dapat memberi Ibu tolak ukur saat membuat batasan, ialah: 

  • Beritahukan secukupnya hal yang terjadi dalam keluarga kecil Ibu 
  • Jika memungkinkan, sesekali luangkan waktu untuk bisa berkumpul bersama dengan keluarga besar. Secukupnya saja karena Ibu dan suami pun membutuhkan waktu privasi khusus
  • Pertimbangkan cara agar dapat membuat waktu spesial bersama keluarga kecil 
  • Jika Ibu bisa memilih, sebaiknya tinggal terpisah dari rumah mertua. Hal ini untuk menghindari gejolak karena mengemban peran yang sama
  • Sebaiknya hindari pinjam uang kepada mertua 
  • Tetapkan toleransi yang dapat disepakati kedua pihak

Tolak ukur diatas hanya sebagian kecil yang dapat Ibu lakukan. Ibu bisa sesuaikan lagi dengan kondisi dan kebutuhan yang Ibu rasa perlu. Setelah menetapkan batasan yang membuat Ibu nyaman dalam menjalin hubungan dengan mertua, Ibu perlu mengomunikasikan terlebih dahulu dengan pasangan agar dapat memahami kebutuhan Ibu dan berbagi pandangan tentang batasan yang telah dibuat. 

Selanjutnya, Ibu memberanikan diri untuk berkata terus terang kepada mertua, meskipun awalnya terasa tidak nyaman. Terbuka terhadap perubahan dalam mencapai kesepakatan dan tetap konsisten teguh menerapkan batasan yang sudah dibuat sehingga rasa saling menghormati tidak hilang dalam hubungan dengan mertua. 

Selamat mencoba dan tetap semangat ya, Bu! Jangan lupa share artikel ini untuk membantu Ibu lainnya!

Referensi 

  • Fingerman, K. L. (2004). The Role of Offspring and In-Laws in Grandparents’ Ties to Their Grandchildren. Journal of Family Issues, 25(8), 1026–1049. https://doi.org/10.1177/0192513×04265941
  • Greif, G. L., & Woolley, M. E. (2019). Women and Their Mothers-in-Law: Triangles, Ambiguity, and Relationship Quality. Social Work Research, 43(4), 259–268. https://doi.org/10.1093/swr/svz016
  • Jean Turner, M., Young, C. R., & Black, K. I. (2006). Daughters-in-Law and Mothers-in-Law Seeking Their Place Within the Family: A Qualitative Study of Differing Viewpoints. Family Relations, 55(5), 588–600. https://doi.org/10.1111/j.1741-3729.2006.00428.x
  • National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine, Education, D. O. B. A. S. S. A., Children, B. Y. O., Children, C. O. S. T. P. O. Y., Breiner, H., Ford, M., & Gadsden, V. L. (2016). Parenting Matters: Supporting Parents of Children Ages 0–8 (1st ed.). National Academies Press.
  • Rittenour, C. (2012). Daughter-in-law Standards for Mother-in-law Communication: Associations With Daughter-in-law Perceptions of Relational Satisfaction and Shared Family Identity. Journal of Family Communication, 12(2), 93–110. https://doi.org/10.1080/15267431.2010.537240
  • Wu, T. F., Yeh, K. H., Cross, S. E., Larson, L. M., Wang, Y. C., & Tsai, Y. L. (2010). Conflict With Mothers-in-Law and Taiwanese Women’s Marital Satisfaction: The Moderating Role of Husband Support. The Counseling Psychologist, 38(4), 497–522. https://doi.org/10.1177/0011000009353071

Related Posts

Comments

Stay Connected

spot_img

Recent Stories